Selasa, 27 Maret 2018

Mengagumi Keperkasaan Ksatria Aryo Penangsang, di Petilasan Kadipaten Jipang Panolan

Patung Kuda Simbol Kadipatenn Jipang 
 Petilasan Kadipaten Jipang Panolan terletak di Desa Jipang Kecamatan Cepu kurang-lebih 45 Km disebelah Tenggara kota Blora. Petilasan ini merupakan peninggalan sejarah dan adat budaya Kerajaan Pajang. Terkenal dengan sebutan Kadipaten Jipang Panolan yang berkedudukan di Desa Jipang Kecamatan Cepu dan berada di pinggiran Bengawan Solo.Adipati Jipang Panolan yang terkenal bernama Arya Penangsang

Diberi nama Arya Penangsang karena pada waktu itu ayahnya yang bernama Pangeran Seda Lepen berperang melawan Sunan Prawata setelah sembahyang Jum’at di tepi bengawan sore dengan menggendong bayinya. Pangeran Seda Lepen pun tewas ditusuk Kyai Setan Kober. Sementara di sampingnya, anaknya yangtemangsang (tersangkut) di pinggir bengawan dipungut oleh Sunan Kudus. Karena anak itu temangsang di bengawan, maka oleh Sunan Kudus diberi nama Arya Penangsang.

Setelah Raden Patah berhasil meruntuhkan negara Hindu-Jawa Majapahit, segera ia menyempurnakan pembentukan negara Islam Demak, yang pembangunannya telah dimulai pada tahun 1475 ( Prof. Dr. Slamet Muljana,2005:193). Sehingga beralihlah kekuasaan Majapahit ke Demak. Ia memusatkan perhatiannya pada pembangunan negara Islam di Demak, dengan Demak sebagai pusatnya.   

Ketika Raden patah wafat (tahun 1518), Pati Unus menggantikannya menjadi Sultan, tetapi 3 tahun kemudian iapun meninggal. Ia terkenal juga dengan nama Pangeran Sabrang Lor.

Penyerahan tahta kerajaan mengalami kesulitan karena Pati Unus meninggal tanpa meninggalkan putra. Para putra Raden Patah mulai berebut kekuasaan. Raden Kikin alias Pangeran Seda Lepen lebih tua daripada Trenggana, tetapi ia lahir dari istri yang ketiga, sedangkan Trenggana lahir dari istri pertama.

Petilasan Aryo Penangsang 
Sultan Trenggono wafat atas perlawanannya dengan Portugis di Pasuruhan. Ini terjadi pada tahun 1546 (Drs. Edy Purwito, Drs. Kuswanto, Drs. Suparman, 1994: 158). Wafatnya Sultan Trenggana menimbulkan kekacauan politik yang hebat. Negeri-negeri bagian (kadipaten) masing-masing melepaskan diri dan tidak mengakui lagi kekuasaan pemerintahan pusat di Demak. Di Demak sendiri para ahli waris saling berebut tahta sehingga timbullah perang saudara yang hebat. 

Setelah Sultan Trenggana wafat, kekuasaan tidak diberikan kepada keturunan Raden Patah tetapi kepada menantunya yang bernama Hadiwijaya. Menurut babad dan Serat Kandha, sesudah meninggalnya Sultan Trenggana, saudara laki-lakinya, Pangeran Seda Lepen, dibunuh atas perintah Susuhunan Prawata. Abdi-abdi pangeran tua itu kemudian membunuh orang yang telah menewaskan majikannya itu (Babad Tanah Djawi, jil.IV, hlm. 12 danSerat Kandha, Codex Lor 6379, jil. 9). Seda Lepen (meninggal di sungai) adalah nama pangeran itu, yang diberikan sesudah ia meninggal. 

Arya Penangsang tidak terima atas kematian ayahnya. Dia merasa sakit hati karena hak yang seharusnya milik dia dan ayahnya telah dilangkahi oleh  Sultan Trenggana. Kejengkelannya bertambah besar ketika ia mengetahui bahwa Pangeran Prawata, sebelum menjadi susuhunan yang keramat, memerintahkan pesuruhnya, Surayata, membunuh ayah Arya Penangsang, Pangeran Seda Lepen, ”sewaktu pulang dari sembahyang Jum’at”.

Jadi, Prawata tidak hanya merebut kedudukan, yang menurut hak harus diwariskan kepada Arya Penangsang, tetapi juga menyuruh orang membunuh ayah Arya Penangsang. Maka, mudah dimengerti jika sejak itu Arya Penangsang akan menggunakan jalan apa pun, tidak hanya untuk membalas dendam, tetapi juga merebut kekuasaan. Karena itu, ia berusaha agar semua keturunan dan kerabat Sultan Trenggana yang bisa menuntut hak untuk turut memimpin negara dihancurkan, terutama yang berkerabat paling dekat. Dalam hal ini ialah putra-putri dan para menantu Sultan Trenggana, yakni Pangeran (Sunan) Prawata, Pangeran Kalinyamat dan akhirnya Raden Jaka Tingkir, Raja Pajang yang juga kawin dengan salah seorang putri Trenggana.

Setelah menerima anjuran Sunan Kudus, Pangeran Arya Penangsang mengirim salah satu seorang penjagakeputren, Rangkud, untuk membunuh Sunan Prawata. Di Prawata, Rangkud menemukan Raja dalam keadaan sakit bersandar pada permaisurinya. Sunan bertanya,”Siapakah kau ini?”. Dan tanpa rasa malu Rangkud memberitahukan maksud kedatangannya yang dijawab Sunan,”Silakan, tetapi biarlah aku sendiri saja yang kau bunuh ......” Rangkud menjawab dengan satu tusukan menusuk Raja dan permaisurinya sekaligus. Dengan kekuatan yang masih tersisa, Sunan yang hampir tewas itu melemparkan kerisnya, Kiai Betok, pada pembunuh itu. Kulit Rangkud tergores sedikit (menurutSerat Kandha : kakinya). Tetapi, goresan sebuah keris sakti cukup membuat penjahat itu tewas. Sunan Prawata dan permaisurinya pun tewas.

Arya Penangsang membunuh Sunan Prawata untuk balas dendam karena jika Pangeran Seda Lepen tidak dibunuh, maka beliaulah yang berhak menggantikan kedudukan Raden Patah sebagai Raja Demak. Dengan demikian dialah yang kelak berhak mewarisi tahta dinasti Kerajaan Demak, karena dia keturunan laki-laki dari anak laki-laki Raden Patah. 

Kerabat Keraton Sowan di Petilasan Aryo Penangsang 
Saudara perempuan Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat, tidak tinggal diam atas pembunuhan terhadap kakaknya. Karena tidak tahu bahwa Sunan Kudus juga terlibat dalam pembunuhan itu, maka ia pergi bersama suaminya menghadap tokoh keramat ini untuk meminta pengadilan, tetapi tidak diperolehnya secara memuaskan. Dalam perjalanan pulang keduanya diserang oleh para abdi Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat terbunuh. Adapun Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Kalinyamat karena beliau juga merupakan ancaman bagi dirinya untuk meraih haknya atas tahta Kerajaan Demak. 

Hal ini karena di samping beliau orangnya cakap, bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat, walaupun seorang perempuan juga sangat cakap. Terbukti sepeninggal suaminya, (Pangeran Kalinyamat), beliau menjadi pusat keluarga Demak yang sudah tercerai berai. Beliaulah yang mengasuh dan mengurusi seluruh keluarga. Selain itu, walaupun hanya seorang janda, beliau mampu merajai kota pelabuhan Jepara dengan sukses. 

Sebagai protes terhadap kelakuan Arya Penangsang, janda Pangeran Kalinyamat bertapa telanjang di gunung Danaraja. Hanya rambutnya yang terurai yang menjadi pakaiannya (H.J. De Graaf, 1985:37). Ia tidak akan berhenti bertapa sebelum Arya Penangsang Jipang berhasil dibunuh. Nyi Ratu Kalinyamat mengundangkan sayembara: barang siapa dapat membunuh Arya Penangsang Jipang, akan menerima segala harta benda miliknya, daerah Prawata dan Kalinyamat. Nyi Ratu Kalinyamat sanggup menyerahkan dirinya kepadanya. Kabar itu didengar oleh Jaka Tingkir. Karena Nyi Ratu Kalinyamat adalah iparnya, maka Jaka Tingkir  sanggup membalaskan kematian Pangeran Kalinyamat.

Kebetulan waktu itu Arya Penangsang dan Hadiwijaya dipanggil menghadap Sunan Kudus untuk mewariskan ilmu yang terakhir. Diceritakan, Arya Penangsang datang terlebih dahulu dulu ke Kudus, sebelum Hadiwijaya datang ke sana.  Sunan Kudus berpesan, jangan sampai Arya Pennagsang menduduki kursi yang sudah ia taburirajahkalacakra, sebab siapa saja yang duduk di kursi tersebut, dia akan nemoni apes (menemui kemalangan).

Hadiwijaya kemudian datang ke kediaman Sunan Kudus. Arya Penangsang mempersilahkan Hadiwijaya duduk di kursi yang sudah ditaburi rajahkalacakra. Namun Hadiwijaya menolak hingga akhirnya Arya Penangsang jengkel dan ia menduduki sendiri kursi yang sudah ditaburi rajahkalacakra.

Kemudian terjadi adu mulut antara Arya Penangsang dan Hadiwijaya. Arya Penangsang merasa panas ketika Hadiwijaya mengejek Kyai Setan Kober miliknya. Menurut Hadiwijaya pusaka itu hanya pantas untukcuthik enjet (pengungkit enjet untuk menginang) atau iris-iris (mengiris-iris) brambang. Ketika keduanya memanas Sunan Kudus berteriak,”Wrangkakna (Sarungkan) pusakamu”. Baik Hadiwijaya maupun Arya Penangsang menurut. Kemudian Hadiwijaya pulang ke Pajang. Ternyata kata Wrangkakna yang diucapkan Sunan Kudus mempunyai maksud untuk menyuruh Arya Penangsang agar menusukkan Kyai Setan Kober ke dada Hadiwijaya. Karena Arya Penangsang sudah menduduki kursi yang ber- rajahkalacakra, Sunan Kudus memberi penyelesesaian agar Arya Penangsang berpuasa 40 hari.

Petilasan Aryo Penangsang 
Sementara itu Jaka Tingkir atau Hadiwijaya telah mengumumkan akan menghadiahkan tanah Pati dan Mataram kepada barangsiapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang, tetapi tidak seorang pun yang berani. Sementara di rumah Kiai Gede Pemanahan. Atas nasihat Ki Juru Martani, yang mengemukakan rencananya yang cerdik, Kiai Gede Pemanahan dan Ki Panjawi maju menawarkan diri. Tanpa bantuan orang lain kecuali keluarganya sendiri, Kiai Gede Pamanahan berjanji akan melakukan perlawanan. Setelah itu pasukan mereka berbaris menuju Caket dengan kekuatan 200 orang.

Di sana mereka menangkap perumput dari istana Panangsang yang sedang mencari rumput untuk kuda Gagak Rimang. Dengan imbalan 15 rial satu telinga perumput itu diiris, sedangkan pada telinga lainnya diikatkan surat tantangan yang bernada ejekan. Dalam keadaan demikianlah perumput yang malang itu kembali ke istana. Perumput itu sampai istana ketika Arya Penangsang sedang menunggu waktu berbuka puasa terakhirnya yang beberapa jam lagi selesai. 

Namun atas kedatangan surat tantangan dari Hadiwijaya yang berisikan kalau memang Arya Penangsang berani, ia ditunggu di Bengawan Sore dan ditantang untuk berperang tanding satu lawan satu. Patih Metaun berusaha menahan Arya Penangsang untuk tidak pergi dan menunggu sampai puasanya benar-benar berakhir. Kedatangan perumput yang teraniaya beserta surat penghinaan itu memang benar-benar membuat marah Arya Penangsang yang baru saja duduk di meja makan. Karena marahnya, tangannya yang sedang mengepal nasi memukul piringnya sampai pecah.

Kakaknya, Aria Mataram, berusaha meredakannya. Tetapi, Arya Penangsang sudah lari menghilang di atas kuda Gagak Rimang, sambil melecutnya sekeras-kerasnya. Sementara itu, Ki Mataun yang sakit asma mengikutinya dengan napas terengah-engah dan tidak dapat menyusulnya.

Dengan gagah dan berani Arya Penangsang yang sedang menunggang kuda telah berada di pinggir Bengawan Sore. Arya Penangsang menyerukan kata-kata ejekan dan tantangan. Rupanya ia tidak sadar, emosi tela manutup ingatan atas pesan Sunan Kudus bahwa siapa saja yang mrnyrberangi sungai itu akan kalah dalam perangnya. Semula Arya Penangsang mengira bahwa yang akan ditandinginya adalah Hadiwijaya. Namun ternyata yang ia jumpai disana adalah putra dari Kyai Gede Pamanahan yang bernama Sutawijaya. Sutawijaya melindungi dirinya dengan bersenjatakan tombak Kyai Plered yang merupakan salah satu pusaka dari kerajaan Demak. 

Sementara itu dengan taktik liciknya, Ki Juru Martani melepaskan seekor kuda betina yang sudah dibersihkan bulu-bulu disekitar kemaluannya. Hal ini ia lakukan untuk memancing kuda Gagak Rimang Arya Penangsang yang sedang dalam masa birahi. Setelah kuda betina tersebut dilepas, kuda jantan Arya Penangsang menjadi liar. Arya Penangsang pun terjatuh dari kudanya. Sutawijaya yang telah siap segera menombak perut Arya Penangsang dengan tombak Kyai Plered. Tombak yang sakti itu seketika merobek perut Arya Penangsang sampai ususnya tertarik dan keluar dari perut. 
Dalam keadaan yang sudah parah itu. Arya Penangsang masih dapat mempertahankan hidupnya. Dengan sigap Arya Penangsang segera meraih ususnya yang keluar kemudian melilitkannya pada keris Kyai Setan Kober. Pertempuran hebat antara Arya Penangsang dan Sutawijaya pun dilanjutkan. 

Dengan kekuatan yang masih tersisa Arya Penangsang berusaha untuk memenangkan pertempuran itu. Namun keemosian yang tinggi menyebabkan Arya Penangsang kalah dengan sendirinya. Karena terlanjur emosi dan berhasrat tinggi untuk segera membunuh Sutawijaya, Arya Penangsang mengunus keris yang telah ia gunakan untuk melilitkan ususnya. Sehingga, usus yang dililitkan ke keris itu pun hancur dan Arya Penangsang meninggal pada waktu itu juga.   


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria 




Info & pemesanan:

Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

https://djengasih.com/blog/tanda-pasangan-terkena-serangan-pelet 





Nuansa Mistis Sumur Pitu, Petilasan Ki Ageng Pengging

Bagi masyarakat Tawa Tengah, nama Ki Ageng Pengging bukanlah nama yang asing. Bagi para praja negara, Ki Ageng Pengging merupakan simbol keteguhan hati dalam membela keyakinan diri. Garis darah Majapahit mengalir kental dalam raga ksatria bernama asli Raden Kebo Kenanga ini. Menjadi bupati pengging setelah berhasil menemukan Ratu Pembayun yang diculik oleh Menak Daliputih. Ratu Pembayun adalah puteri dari Prabu Brawijaya V sedangkan Menak Daliputih adalah raja kerajaan Blambangan, Kerajaan yang sebelumnya dipimpin oleh Prabu Minak Jingga.  Di masa senjanya, Ki Ageng Pengging, Banyak melakukan tapa, petilasannya banyak tersebar di Jawa Tengah. Salah satu petilasan Ki Ageng Pengging di Kabupaten Blora adalah Petilasan Sumur Pitu di Kecamatan Banjarejo.

Terletak di belakang SMP N 2 Mojowetan, Petilasan Sumur Pitu tersembunyi dari lalu lalang jalan desa Mojowetan, secara lengkap petilasan Sumur Pitu bertempat di Dukuh Wadas Desa Mojowetan Kecamatan Banjarejo, sepuluh menit dari pertigaan desa Mojowetan menuju desa Bacem Kecamatan Banjarejo. Ada baiknya bagi para pengunjung untuk bertanya pada masyarakat Mojowetan jika hendak mengunjungi petilasan Sumur Pitu ini.

Menurut penuturan Kang Gempur, Sekretaris Desa Mojowetan, Petilasan Sumur Pitu merupakan petilasan yang kental aura Keislaman dan Mistisme Jawa. Kerap kali upacara adat desa dan peringatan Muharoman / Suran diselenggarakan di tempat bersejarah ini. Kang Gempur berpesan, jika ingin merasakan kesakralan dari Petilasan Sumur Pitu, pengunjung disarankan untuk datang pada hari – hari yang ditentukan. Yaitu pada sepuluh hari pertama bulan Sura, serta pada malam Jum’at Legi setiap bulannya. Banyak pengunjung dari berbagai kota hadir pada hari itu. Paling sering adalah pengunjung dari kota Surakarta, Yogyakarta dan Grobogan. “Pernah juga, datang peziarah dari Bandung dan Surabaya. Mereka datang untuk kepentingan penelitian sejarah “ Jelas bapak tiga anak ini.

Pengalaman – pengalaman supranatural sering dialami oleh para pengunjung Petilasan Sumur Pitu. Kang Gempur menuturkan ada beberapa pantangan tidak tertulis yang harus ditinggalkan ketika para pengunjung berada di kompleks warisan Ki Ageng Pengging itu. Beberapa diantaranya adalah para peziarah dilarang untuk mengambil ikan di kolam yang terletak di tengah kompleks Petilasan Sumur Pitu. Pengunjung di larang untuk berkata kotor dan dilarang membuat gaduh di dalam petilasan, serta pengunjung dilarang membawa apapun dari petilasan. “Pelanggaran terhadap pantangan – pantangan itu bisa berdampak serius,” Jelas Alumnus Unigoro Fakultas Sosial Politik ini. Namun, para pengunjung tidak perlu khawatir dengan berbagai akibat – akibat dari pelanggaran pantangan itu. selama kedatangannya didasari dengan niat yang lurus.

Tanpa meninggalkan kesan mistisnya, Petilasan Sumur Pitu menyimpan keindahan dan sisi sejarah yang luar biasa. Sensasi kesejukan di bawah rimbun pepohonan yang berusia ratusan tahun akan pengunjung dapatkan seketika memasuki area petilasan bersejarah ini. Ada baiknya, para pengunjung meminta tokoh masyarakat desa Wadas untuk menemani aktivitas berkunjung ke Peninggalan sang Putera Majapahit ini.


 Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria 


Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585


Mengenang Jejak Prabu Airlangga Raja Pertama Kahuripan

 Prabu Airlangga, adalah raja pertama Kerajaan Kahuripan, yang dibangun dari sisa-sisa reruntuhan Kerajaan Medang akibat serbuan Sriwijaya. Beliau memerintah antara tahun 1028 - 1035. Ia disebutkan sebagai seorang yang memerintah Mpu Kanwa untuk menulis Kakawin Arjunawiwaha. Namanya diabadikan sebagai nama salah satu universitas negeri di Surabaya. 

Airlangga merupakan putera pasangan Mahendradatta (puteri dari Dinasti Isyana, Medang) dan Udayana (raja Dinasti Warmadewa, Bali). Ia dibesarkan di istana Watugaluh (Kerajaan Medang) di bawah pemerintahan raja Dharmawangsa. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.

Pada tahun 1006, ketika Airlangga berusia 16 tahun, Sriwijaya mengadakan pembalasan atas Medang. Wurawari (sekutu Sriwijaya) membakar Istana Watugaluh, Dharmawangsa beserta bangsawan tewas dalam serangan itu. Airlangga berhasil melarikan diri ke hutan, dan menjadi pendeta (pertapa), ditemani oleh pengawalnya, Narotama. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu - Jombang (Jawa Timur).

Setelah beberapa tahun berada di hutan, akhirnya pada tahun 1019, Airlangga berhasil mempersatukan wilayah kerajaan Medang yang telah pecah, membangun kembali kerajaan, dan berdamai dengan Sriwijaya. Kerajaan baru ini dikenal dengan Kerajaan Kahuripan, yang wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Airlangga dikenal sebagai model toleransi beragama, sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha. Airlangga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah dan Bali. Pada tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruh Kahuripan seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya.

Di bawah pemerintahan Airlangga, seni sastra berkembang. Tahun 1035, Mpu Kanwa menggubah kitab Arjuna Wiwaha, yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan Arjuna, inkarnasi Wisnu yang tak lain adalah kiasan Airlangga sendiri. Kisah Airlangga digambarkan dalam Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan.

Pada akhir hayatnya, Airlangga berhadapan dengan masalah suksesi. Pewarisnya, Sanggramawijaya, memilih menjadi pertapa ketimbang menjadi suksesor Airlangga. Ia dikaitkan dengan legenda Dewi Kilisuci dan Gua Selomangleng di Gunung Klothok, 5 KM arah barat kota Kediri. Pada tahun 1045, Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk dua puteranya: Janggala dan Kadiri. Airlangga sendiri menjadi pertapa, dan meninggal tahun 1049.



Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria 


Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Parangkusumo, Jejak Mistis Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul

Pantai Parangkusumo termasuk pantai selatan yang menjadi salah satu aset wisata milik Yogyakarta. Pantai Parangkusumo ini terletak di sebelah barat Pantai Parangtritis mempunyai keindahan alam yang tidak kalah dengan pantai Parangtritis. Selain itu di dekat pantai ini terdapat 2 batu karang yang sekelilingnya di pagar beton. Tempat yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar tersebut dikenal dengan nama Cepuri

Cepuri Parangkusumo merupakan tempat yang penting untuk acara yang bersifat adat dan spiritual contohnya acara labuhan. Benda yang mau dilabuh harus dimasukan ke Cepuri dan didoakan oleh para juru kunci sebelum benda tersebut di buang kelaut. Keunikan budaya dan kemisteriusan pantai ini terus menjadi objek wisata menarik bagi wisatawan domestic maupun manca negara.

 Masyarakat Yogyakarta sampai saat ini meyakini adanya hubungan spesial antara Keraton Yogyakarta dengan penguasa pantai selatan, Nyi Roro Kidul. Hubungan spesial tersebut dimulai sejak pendiri mataram Panembahan Senopati. Dan di Pantai Parangkusumo lah hubungan spesial itu terjadi.
Pantai Parangkusumo merupakan salah satu pantai yang dikramatkan oleh penduduk sekitar kawasan Pantai Parangtritis, Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam tradisi Jawa, pantai Parangkusumo ini dianggap sebagai gerbang utama atau jalan tol menuju Keraton Gaib Laut Selatan, sebuah kerajaan Nyi Roro Kidul yang menguasai Laut Selatan (Samudera Hindia).
Berbagai acara labuhan, baik dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat maupun dari masyarakat setempat digelar di pantai Parangkusumo. Ritual Labuhan Keraton di Pantai Parangkusumo merupakan simbol ikatan dan kekuasaan antara keraton dan penguasa laut selatan.
Berdasarkan cerita almarhum Mbah Nono panggilan akrab RP Suraksotarwono juru kunci sekaligus sesepuh warga Pantai Parangkusumo, labuhan kepada Kanjeng Ratu Kidul merupakan sebuah ritual yang penting bagi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ratu Kidul berjanji untuk mengayomi Panembahan Senopati dan seluruh keturunannya dan Kerajaan Mataram ketika berada dalam kesulitan. Berdasarkan nasehat dari Ki Juru Mertani, Panembahan Senopati bermeditasi di Pantai Parangkusumo, sebuah pantai kecil di pinggiran Laut Selatan.
Meditasi yang luar biasa tersebut mengakibatkan “goro-goro” atau menimbulkan kekacauan di Kerajaan Segara Kidul (laut selatan). Kanjeng Ratu Kidul pun mendatangi penguasa Mataram tersebut dan mengatakan bahwa harapannya telah dikabulkan oleh Sang Maujud Agung.
Kemudian perjanjian antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul dibuat. Hubungan antara raja-raja Mataram dan Kanjeng Ratu Kidul telah memperkokoh legitimasi kebudayaan kepada Sri Sultan Hamengkubuono.
Mitor Pantai Parangkusumo jogja
Legenda Pantai Parangkusomo Bantul Yogyakarta
Cerita tersebut sampai sekarang masih dipercayai oleh masyarakat Yogyakarta. Sehingga masyarakat masih melakukan ritual di kawasan Cepuri sebagai tempat pertemuan antara Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati dan juga di Kawasan Pantai Parangkusumo yang dipercaya merupakan keratonnya Ratu Kidul.
Meski hanya sebuah cerita yang turun temurun, masyarakat tetap melakukan semedi di Pantai Parangkusomo kata Mbah Nono. Pada tahun 1973 ketika akan diberi limpahan jabatan dari ayahnya, dia didampingi ayahnya melakukan semedi Pantai Parangkusmo.
Saat itu tiba-tiba air laut surut dan terlihat adanya sebuah kerajaan. Saat dia masuk, dari depan kerajaan terlihat seperti ada gerbang yang megah. Melewati gerbang terlihat bangunan seperti pendapa yang dilengkapi tiga tangga yang terbuat dari batu yang sangat indah dan sangat bersih.
Ketika ingin menaiki pendopo tiba-tiba sosok Ratu Kidul muncul. Seketika itu juga Mbah Nono langsung menundukkan wajah sebagai bentuk penghormatan bagi penguasa laut selatan.
Setelah sekian lama tertunduk, tiba-tiba Ratu Kidul menjamah kepala Mbah Nono seraya mengatakan untuk menerima tanggung jawab yang diberikan ayahnya, menjadi penerus juru kunci Cepuri. Melalui pengalaman gaib itulah dia menerima tanggung jawab sebagai juru kunci Cepuri, tempat pertemuan antara Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul.
Sebagai juru kunci Cepuri, kakek yang telah dikarunia empat cucu ini menyatakan, terdapat dua tempat lokasi untuk melakukan ziarah yaitu di Batu Besar yang disebut Sela Ageng dan Batu Sengker atau batu gilang. Di lokasi Sela Ageng inilah pertama kali Penembahan Senopati melakukan semedi. Namun karena tidak nyaman, maka Panembahan Senopati berpindah tempat ke lokasi batu sengker (batu kecil) yang lokasinya di bagian selatan Sela Ageng.
Saat bersemedi di batu kecil (Batu sengker) inilah Panembahan Senopati bertemu dengan Ratu Kidul yang ceritanya Ratu Kidul bersedia membantu dan mengamankan kerajaannya beserta keturunan Penembahan Senopati (Raja Keraton Yogyakarta). Dengan janji dari Ratu Kidul itulah sampai sekarang ritual Labuhan yang dimulai dari doa di sela sengker hingga dan berakhir dengan Labuhan di Kawasan Pantai Parangkusumo masih terus dilestarikan. Sampai kini, ritual tersebut sudah masuk menjadi agenda budaya dan wisata di Pantai Parangkusumo, Kretek, Bantul, Yogyakarta.
Sebagai pantai yang masih berada satu kawasan dengan Pantai Parangtritis, maka tidak heran bila anda bisa mendapatkan dobel pantai karena bila anda berjalan ke arah timur, Pantai Parangtritis pun telah menyambut anda. Dengan berjalan kaki atau menaiki kereta kuda seharga Rp20.000 saja, anda dapat menikmati Pantai Parangtritis.
Hanya saja, Pantai Karangkusumo ini memang lebih dikhususkan untuk upacara adat karena disini terdapat sebuah Batu Cinta yang berada di Puri Cepuri dan dipercaya sebagai tempat duduk Panembahan Senopati di sebuah batu besar dan Ratu Laut Selatan yang duduk di sebuah batu yang ukurannya lebih kecil. Sekarang tempat ini dipagar beton bercat putih dan akan dibuka sewaktu-waktu untuk upacara adat Labuhan Alit Parangkusumo.
Karena saat itu permohonan Panembahan Senopati untuk dapat memimpin Kerajaan Mataram dan melindungi rakyatnya berhasil diwujudkan, maka tidak heran bila banyak orang yang percaya bila berdoa didepan Batu Cinta, maka keinginannya akan terkabul. Sebagian besar dari mereka juga percaya bahwa jika berdoa disana, maka segala beban berat yang dipikul akan terasa lebih ringan dan semangat untuk melanjutkan hidup pun akan semakin membara. Walaupun ini hanya mitos, anda dapat saja datang berkunjung sambil melihat-lihat kawasan Puri Cepuri dimana dua batu besar itu berjejer saling berhadapan sekedar untuk tahu saja.
Dan sebagai tempat ziarah, maka anda jangan heran bila wangi kembang setaman dan bau kemenyan dapat terhirup oleh hidung anda. Jika anda tidak tahan dengan baunya, anda dapat menikmati suasana pantai saja sambil menyambut ombak yang datang silih berganti. Selamat berlibur.


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria



Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585




Candi Jolotundo, Monumen Cinta Kasih Raja Udayana

Candi Jolotundo terletak di lereng utara Gunung Penanggungan, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto. Jarak dari kota Surabaya ± 55 Km, dapat dicapai dengan kendaraan pribadi roda 2 maupun roda 4.

Candi Jolotundo merupakan bangunan petirtaan yang dibuat pada zaman Airlangga ( Kerajaan Kahuripan ). Berukuran panjang: 16,85 m, lebar: 13, 52 m dan kedalaman: 5, 20 m. Terbuat dari batu andesit yang dipahat halus. Dua data sejarah yang sangat penting yang berhubungan dengan kepurbakalaan ini adalah angka 997 M yang dipahatkan di sebelah kanan dan tulisan Yenpeng di sebelah kiri dinding belakang.

Candi ini merupakan monumen cinta kasih Raja Udayana untuk menyambut kelahiran anaknya, Prabu Airlangga, yang dibangun pada tahun 997 M. Sumber lain menyebutkan bahwa candi ini adalah tempat pertapaan Airlangga setelah mengun-durkan diri dari singgasana dan diganti anaknya.


Keunikan petirtaan ini adalah debit airnya yang tidak pernah berkurang meskipun musim kemarau. Berdasarkan penilitian, kualitas airnya terbaik di dunia dan kandungan mineralnya sangat tinggi. Pada hari-hari tertentu dij adikan tempat ri tual bagi sebagian orang untuk mencari keberkahan.



Di sekitar candi, disediakan pendopo dan gazebo untuk menikmati sua sana sejuk dan nyaman. Kawasan lolotundo juga dapat dijadikan titik awal menuju 17 candi lain yang tersebar di sepanjang jalur pendakian Gunung Penang-gungan. Lebih kurang 1 km sebelum candi lolotundo terdapat Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman.

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria 


Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

  


Situs Menggung, Petilasan Airlangga Mengasingkan Diri

Situs Menggung ini merupakan tempat yang unik. Situsnya sendiri seperti punden berundak dan mengingatkan kita akan Candi Kethek. Jika di candi Kethek kita tak bisa menemukan adanya relief atau arca, maka disini kita bisa menemukan banyak arca yang tersebar di situs ini.


 
Situs Menggung berada di  Desa Nglurah, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari Grojogan Sewu. Jangan heran jika sepanjang perjalanan menuju Situs Menggung kita akan menjumpai banyak sekali kios tanaman hias. Desa Nglurah memang terkenal akan sentranya tanaman hias di Tawangmangu.
Seunik candi lainnya di Gunung Lawu yang berbetuk punden berundak. Situs Menggung terdiri atas tiga teras. Di teras pertama kita hanya akan menemukan empat buah patung dwarapala yang menjaga tangga menuju teras kedua. Selain sudah aus, patung dwarapala ini sendiri unik karena salah satu patungnya dipahat dua arah, depan dan belakang, persis seperti arca di Candi Ceto.
 
Teras kedua sangat luas. Disini terdapat bebatuan yang ditumpuk – tumpuk dan membentuk bidang persegi di beberapa tempat. Pada bidang persegi tersebut terlihat beberapa batu dengan bagian atas yang datar seperti umpak, itu berarti dulu terdapat rumah panggung di situs ini, seperti di Candi Ceto. Lanjut menuju teras ketiga, sebelumnya kita akan menjumpai sepasang arca dwarapala di kaki tangga. Di teras ketiga terdapat pohon yang teramat sangat besar yang ditutupi kain bermotif kotak dan kain kuning. Diatara akarnya yang besar kita dapat melihat sebuah arca kecil yang sudah rusak.
 
Di ujung teratas teras ketiga terdapat sebuah tembok yang mengelilingi dua arca yang menjadi pusat Situs Menggung ini. Kedua arca dalam tembok ini yang bisa dibilang paling utuh dibanding arca lainnya di Situs ini. Arca yang lebih pendek dikenal dengan sebutan Kyai Menggung dan arca yang paling tinggi [juga merupakan arca tertinggi di Situs ini] disebut Nyi Rasa Putih. Di bawah arca Nyi Rasa Putih terdapat sebuah batu yang memuat satu – satunya relief di situs ini. Tak diketahui makna relief ini karena hanya sepotong saja.

Satu – satunya petunjuk yang menandakan kalau situs ini merupakan peninggalan Hindu adalah adanya yoni yang terbalik di pelataran teras dua. Yoni di situs ini sendiri sangat unik karena bentuknya bulat. Tak ada papan informasi di situs ini, bahkan pos penjaga di bawah situs kosong melompong. Tak ayal, internet merupakan satu – satunya sarana untuk menggali informasi tentang situs ini. 

Kata Menggung  didapat dari Kyai Menggung yang diyakini merupakan julukan Narotama, putra Bali yang jadi pengikut Raja Airlangga. Dia mengembara ke Nglurah untuk mendekatkan diri ke Hyang Widhi. Dari perbuatannya ini, kata Menggung pun didapat yang berarti  “melengake marang Gusti Kang Maha Agung” (memusatkan segala perhatian kepada Tuhan Yang Maha Agung).

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria 


Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Petilasan Sunan Kalijaga Dihuni Dua Kerajaan Kera

Petilasan kanjeng Sunan Kalijaga di Plangon
Sampai saat ini masyarakat Cirebon belum sepenuhnya mengetahui asal usul peninggalan sejarah yang ada di lingkungannya. Salah satunya situs petilasan Sunan Kalijaga.

Di kawasan tersebut ternyata memiliki banyak keistimewaan dan legenda yang hingga saat ini masih dipercaya masyarakat.  Situs taman kera Kalijaga terletak di wilayah Kelurahan Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat. Dari terminal bus Harjamukti atau bandara udara Penggung Cirebon jaraknya hanya berkisar 600 meter ke arah Selatan.

Kawasan petilasan Sunan Kalijaga ini memiliki luas 120.000 meter persegi. Kawasan ini dilalui dua aliran sungai yang masing-masing mempunyai dua sampai tiga nama yang berbeda. Sungai dimaksud adalah Kali Simandung dan Kali Masjid, yang alirannya kemudian bertemu di Kali Cawang. Kali ini oleh masyarakat setempat digunakan untuk mandi dam cuci pakaian. Dahulu kala, kali ini juga dapat digunakan untuk wudu.

Pada kawasan itu terdapat bangunan petilasan, sumur kuno, masjid keramat, makam dan selebihnya berupa semacam hutan lindung yang dihuni kera. Bangunan petilasan Kalijaga oleh penduduk setempat disebut Pesarean (dari kata Jawa yang berarti tempat beristirahat). Bangunan ini berdenah bentuk huruf L terdiri tiga ruangan. Ruangan pertama merupakan tempat bagi para peziarah untuk memanjatkan doa, yang dapat dimasuki melalui pintu pertama yang disebut  pintu bacem.

Ruang kedua merupakan tempat beberapa makam kuno, dan ruangan ketiga merupakan bekas tempat tidur Sunan Kalijaga yang ditutup dengan kelambu. Pada sebelah barat bangunan terdapat makam pengikut dan kerabat Sunan Kalijaga. Bagian ini dibatasi dengan dengan kuta kosod (susunan bata merah) setinggi 1.120 cm dan tebal 190 cm.

Konon menurut sejarah, ketika Cirebon dikuasai Belanda, lokasi ini pernah dijadikan tempat pertemuan para panglima perang Kesultanan Kanoman, Kasepuhan, dan Mataram untuk menyusun strategi melawan mereka. Bangunan masjid keramat di kompleks petilasan Sunan Kalijaga dahulu dindingnya terbuat dari kayu dan aber atap daun kelapa.

Sekarang sudah diganti dengan dinding bata diplester dan beratap genting. Di pinggir kali dekat masjid terdapat sumur kuno. Konon sumur kuno ini umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Sumur ini juga disebut sumur wasiat.

Di dekat Kali Simandung terdapat makam keramat dengan tokoh yang dimakamkan adalah Syekh Khotim. Beliau adalah kepercayaan Sunan Kalijaga.

Hutan lindung di kawasan petilasan Sunan Kalijaga, ditumbuhi beberapa jenis pohon besar, seperti bebang, repilang, rengas, dan albasia. Kerimbunan pepohonan ini mendominasi pemandangan. Pada rindangnya pepohonan tersebut dihuni sekitar 77 ekor kera buntut panjang. Pada pagi hari mereka turun, dan duduk berbaris di tepi kali. Kera-kera ini akan turun, jika ada pengunjung, terutama yang terlihat membawa makanan.

Tradisi setempat meyakini bahwa kera-kera tersebut berasal dari jelmaan pada pengikut Sunan Kalijaga yang tidak mematuhi ajaran Rasulullah. Uniknya kera-kera tersebut seakan-akan mengerti akan batas wilayah mereka. Kera-kera dari kelompok selatan tidak mau membaur dengan kera-kera dari kelompok utara dan begitu pula sebaliknya.

Pada waktu-waktu tertentu, merekapun terlibat dalam tawuran. Mereka berteriak-teriak seakan-akan saling mengejek lalu baku hantam dan baku gigitpun terjadi. Tidak jarang perkelahian antar kelompok ini dapat menimbulkan kematian yang tragis.

Situs Taman Kera dan Petilasan Sunan Kalijaga di Cirebon ini diperkirakan sudah ada mulai abad ke-17. Masyarakat setempat mempercayai bahwa situs ini merupakan petilasan Sunan Kalijaga ketika sang Sunan melaksanakan kegiatan penyebaran agama Islam di daerah Cirebon. Hutan Kalijaga merupakan satu-satunya wilayah konservasi hutan yang masih tersisa di Cirebon.

Hingga saat ini belum ada yang berani mencuri atau membawa kera-kera di hutan petilasan Sunan Kalijaga ini karena masyarakat percaya akan mendapat kualat atau mendapat sial. Menurut penjaga petilasan, Miskad (48 tahun), situs Kalijaga tersebut ramai dikunjungi warga pada saat ngabuburit di bulan puasa.

"Hampir setiap hari ada rombongan peziarah dari luar kota seperti Jakarta, Bandung, bahkan dari pulau Jawa. Kalau pengunjung lokal biasanya hanya ramai berkunjung saat ngabuburit di bulan puasa," katanya.


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria 



Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Gunung Kemukus, Makam Bangsawan Majapahit Menjadi Ajang Ritual Seks

Gunung Kemukus
Telah menjadi rahasia umum, jika di Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah, ada ritual untuk mencari pesugihan seperti babi ngepet dan lainnya. Konon, demi mendapatkan pesugihan itu, seorang pelaku harus bercinta dengan pasangan tidak sah. 

Tak ayal banyak orang dari berbagai wilayah di Indonesia datang berduyun-duyun ke Gunung Kemukus. Bagaimana ritual ini menjadi semacam tradisi dan tata cara sesat?

Tempat ritual ini berada di Gunung Kemukus, tepatnya terletak di Desa Pendem, Kecamatan Sumber Lawang, Kabupaten Sragen, 30 km sebelah utara Kota Solo.

Untuk mencapai daerah ini tidak terlalu sulit, dari Solo bisa naik bus jurusan Purwodadi dan turun di Belawan, dari situ di sebelah kiri jalan akan ditemukan pintu gerbang yang bertuliskan "Daerah Wisata Gunung Kemukus", dari gerbang tersebut kita bisa naik ojek atau berjalan kaki menuju tempat penyeberangan dengan perahu.

Gunung Kemukus diidentikkan sebagai daerah wisata seks. Lantaran di sini, seseorang dapat nge-seks dengan bebas atas dasar menjalani lelaku untuk mendapatkan kekayaan dan kesuksesan.

 Dalam aturan tak tertulis, setiap pelaku (peziarah) diharuskan menziarahi makam Pangeran Samudro sebanyak 7 kali pada hari-hari dan bulan yang diyakini bagus atau pada malam Jumat Pon dan Jumat Kliwon.
Makam Pangeran Samudro

Di sana, mereka akan bercinta dengan seseorang yang bukan muhrimnya. Namun, jika pelaku membawa pasangan sendiri, dengan tujuan keamanan, tidak dipersoalkan.

Ritual seks di Gunung Kemukus berawal dari cerita legenda (cerita rakyat). Dikisahkan, zaman dulu, hiduplah seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit (ada juga yang mengatakan dari Kerajaan Pajang) yang bernama Pangeran Samudro.

Menurut cerita legenda, Pangeran Samudro jatuh hati pada ibu kandungnya sendiri, yakni Dewi Ontrowulan. Hubungan inses itu diketahui Ayah Pangeran Samudro, sehingga dia murka dan mengusir Pangeran Samudro dari Kerajaan Pajang.

Pangeran Samudro pun pergi hingga dia tiba di Gunung Kemukus dan menetap di sana. Tidak lama, Dewi Ontrowulan menyusul putranya yang juga kekasihnya ke gunung yang sama. Pastinya, untuk melepas rindu. Ya, mereka hendak bercinta di Gunung Kemukus.

Sayang, belum sempat melakukannya, para penduduk memergoki mereka dan merajam mereka sampai keduanya meninggal. Keduanya dikubur di gunung itu dalam satu liang lahat.

Dalam cerita legenda lain disebutkan jika sebelum menghembuskan napas terakhir, Pangeran Samudro bersumpah, yaitu barang siapa melanjutkan hubungan suami-istri yang tak sempat terlaksana itu, maka segala keinginannya akan terkabul.
 
"Baiklah aku menyerah, tapi dengarlah sumpahku. Siapa yang mau meniru perbuatanku , itulah yang menebus dosaku dan aku akan membantunya dalam bentuk apapun." Demikian sumpah yang diucapkan Pangeran Samudro di akhir hayatnya.

Cerita legenda tentang Pangeran Samudro ini kemudian melatarbelakangi ritual seks di Gunung Kemukus untuk mendapatkan kekayaan. Masyarakat yang bukan pelaku menilai jika cerita legenda tersebut digunakan sebagai ajang pesta seks.

Apabila terlaksana hajatnya, kedua pasangan tidak sah sebagai suami-istri ini mesti kembali untuk melakukan selamatan dan syukuran di Gunung Kemukus lagi.


 Apabila tidak, kedua pasangan yang sudah berjanji di depan makam Pangeran Samudro ini bakal kembali hidup melarat. Bahkan, menurut mitos dan kepercayaan warga, kedua pasangan itu bisa mendapatkan celaka. 


               Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria

                                                                 
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Mengagumi Keperkasaan Ksatria Aryo Penangsang, di Petilasan Kadipaten Jipang Panolan

Patung Kuda Simbol Kadipatenn Jipang     P etilasan Kadipaten Jipang Panolan terletak di Desa Jipang Kecamatan Cepu kurang-lebih 45 Km ...